Mengapa Sekolah yang Baik Belum Tentu Dipilih?

Salah satu kebingungan utama yang umum dialami para pengelola lembaga pendidikan adalah terkait penerimaan siswa baru. Mereka merasa sudah menyediakan fasilitas yang baik, layanan pengajaran yang baik, program pengembangan diri yang baik, sampai berbagai kegiatan keagamaan dan penguatan karakter yang baik pula. Tapi mengapa jumlah siswa pendaftar mereka tidak juga mengalami peningkatan?
Bagi sekolah swasta, umumnya kebingungan ini kemudian dicarikan alibi: karena ada sekolah negeri. Alasan itu tidak sepenuhnya keliru tapi juga tidak tepat. Alasan semacam itu kontraproduktif, karena menyiratkan kondisi pikiran inferior. Apa harus menutup sekolah negeri agar sekolahnya bisa diminati?
Karena kebingungan itu tidak menemukan jawabannya, maka di banyak tempat pengelola sekolah menjadi apatis terhadap ide pengembangan. “Ah, kami sudah mencobanya, tidak mungkin bisa dilakukan,” begitu respons pikirannya. Studi banding juga dilakukan, tapi ketika program di sekolah favorit itu ditiru mengapa hasilnya tidak signifikan?
Jadilah pengelola sekolah itu menjalankan program apa adanya, copy paste tahun sebelumnya. Untuk peningkatan jumlah pendaftar, sekolah semacam ini bergantung pada faktor eksternal. Seperti misalnya beberapa sekolah yang “ketiban durian runtuh” kebijakan zonasi beberapa waktu lalu.
Tidak hanya pengelola, bahkan penyelenggara sekolah pun merasa bingung. Mereka sudah menempatkan kepala sekolah dari sekolah favorit yang dianggap berhasil, tapi nyatanya tidak terlalu signifikan mengubah sekolah minim pendaftar itu. Untuk jenjang SD penempatan kepala sekolah diambil dari sekolah favorit relatif efektif, tapi untuk jenjang SMP dan SMA mengapa tidak berhasil? Apa sebabnya?
Jawaban dari semua kebingungan itu adalah bahwa pemasaran sekolah selama ini cenderung mengabaikan kajian terhadap psikologi konsumen dan faktor-faktor lain, seperti demografi, ekonomi, isu sosial, dan manajemen SDM. Penyelenggara dan pengelola cenderung menganggap bahwa menyediakan fasilitas dan program yang baik adalah satu-satunya faktor. Kebijakan pengembangan sekolah minim yang dilakukan berbasis data.
Untuk faktor demografi, ekonomi, isu sosial, dan manajemen SDM akan kita bahas di lain waktu. Dalam kesempatan ini, mari kita ulas faktor psikologi konsumen dulu. Jadi, mengapa sekolah yang baik belum tentu laku? Jawabannya adalah karena tidak semua segmen konsumen memilih faktor “baik”-nya sekolah sebagai preferensi utama.
Sebelumnya perlu dipahami bahwa konsumen lembaga pendidikan itu ada dua: orang tua dan siswa / anak. Keduanya memiliki preferensi sendiri dan relasi dominasi keduanya berubah bergantung usia, latar belakang ekonomi, dan faktor budaya. Relasi dominasi adalah tarik ulur dominasi keputusan menentukan pilihan apa pun di antara keduanya.
Dalam relasi dominasi secara usia, pada anak usia pendidikan TK, hampir 100% keputusan memilih sekolah ditentukan oleh orang tuanya. Semakin dewasa si anak maka pengaruh pilihan anak semakin besar dan sebaliknya pilihan orang tua semakin tidak dominan. Semakin dewasa di anak, maka pilihan orang tua kehilangan dominasi dan menjadi sekedar rekomendasi.